Dipersatukan dan Dibagi, Siapa Takut?
Elo itu tu… sukanya nonton dan memberi kritik.
Alangkah baiknya bila ikut juga bertindak kecil menolong orang yang memang membutuhkan bantuan.
Dalam pertemuan santai di warung kopi, sahabatku bercerita tentang anaknya Siska dan temannya Tuti. Mereka bersahabat dan berkompetisi dalam mencapai prestasi sejak kelas VII – IX. Ketika ujian nasional semakin dekat, tiba-tiba saja bangku tempat duduk Tuti kosong tanpa kabar apa sebabnya. Siska merasa kehilangan sahabat dan mencoba mencari tahu apakah Tuti sedang sakit. Setelah usai pelajaran Siska minta dihantar supirnya mampir kerumah Tuti. E..e..ternyata Tuti sehat-sehat saja di rumah namun wajahnya kelihatan sedih. Setelah meninggalkan buku catatan pelajaran dan ngobrol sebentar Siska kembali ke rumah. Saat makan malam Siska bercerita kepada orang tuanya tentang keadaan Tuti yang terpaksa tinggal di rumah karena sudah beberapa bulan belum mampu melunasi uang pendidikan. Ibunda Siska menangkap perasaan terharu di wajah putrinya. Ia juga mengenal Tuti sebagai gadis remaja berwajah manis dan ramah kepada siapa saja. Terbayang tegur sapanya yang membuat banyak orang ikut merasakan kebahagiaan.
Berbuatlah
Selesai makan malam ibunda Siska mengajak doa bersama kemudian diikuti pembicaraan mencari jalan keluar untuk membantu Tuti. Semua anggota keluarga terlibat memberikan ide. Akhirnya disepakati bahwa Siska akan mengedarkan ‘amplop bantuan sukarela’ kepada teman-temandi sekolah yang mungkin tergerak hatinya menyisihkan uang jajan lima atau sepuluh ribu guna membantu Tuti. Ayah dan ibu Siska mengirim pesan singkat lewat layanan ‘blackberry messenger’ kepada teman-teman dekat. Dalam dua hari mereka berhasil mengumpulkan dana sekitar empat juta untuk melunasi uang pendidikan Tuti.
Mungkin saja saya ikut mencibir apa yang telah diperbuat oleh keluarga Siska. Mereka hanya menolong sesaat bukan solusi menyeluruh karena kemungkinan besar setelah lulus pun, Tuti akan mengalami kesulitan biaya pendidikan lagi. Hati nuraniku dengan tangkas menjawab, “Elo itu tu… sukanya nonton dan memberi kritik. Alangkah baiknya bila ikut juga bertindak kecil menolong orang yang memang membutuhkan bantuan.” Akupun terdiam. Sekarang yang terpenting berbuatlah sesuatu, kemudian dipikirkan pertolongan jangka panjang melalui program ‘Ayo Sekolah, Ayo Kuliah’.
Pesan Bunda Teresa bahwa hanya sedikit orang mampu melakukan perbuatan besar, sebaliknya banyak orang akan mampu melakukan perbuatan kecil. Nah… bila aku ingin berbuat sesuatu jangan menunggu menjadi orang hebat dulu tetapi berbuatlah sekarang dengan perbuatan-perbuatan kecil.
Dipersatukan
Semua umat katolik menerima Tubuh Kristus yang satu dalam ujud roti yang sudah mengalami transubstansial (perubahan zat menjadi tubuh dan darah Kristus)ketika didoakan oleh imam saat konsekrasi (doa syukur agung). Masing-masing menerima tubuh Kristus secara utuh. Umat sebagai anggota gereja merupakan Tubuh Mistik Kristus dan dipimpin Kristus sebagai kepala Gereja. Umat diajak berpartisipasi mempersembahkan kurban dirinya dalam bentuk ujud-ujud doa pribadi. Dengan demikian umat dipersatukan dan kemudian dibagi-bagikan dalam Tubuh Mistik Kristus. Ekaristi sebagai perayaan kehidupan harus keluar dari gereja untuk menyatu bersama saudara-saudara kita dalam hidup sehari-hari. Semangat berlebihan dalam doa atau devosi tanpa diimbangi dengan perbuatan nyata akan menjurus ke ‘pietisme’ atau ‘klenik’. Sebaliknya aktivitas (bakti sosial, pelayanan) terus menerus tanpa dikuti dengan doa adalah robotisme atau aktivisme dimana tubuh bergerak tanpa Roh. Spiritualitas (semangat) yang dipilih oleh gereja Katolik adalah spiritualitas ‘sabda yang menjadi daging’ dimana ada keseimbangan dalam doa dan karya nyata.
Ite, Missa Est — Marilah pergi, kita diutus. Dan umat menjawab, ‘Deo Gratias (Syukur kepada Allah)’. Pada hakekatnya, umat diharapkan mengikuti perayaan Ekaristi mulai dari ritus pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan ritus penutup. Tetapi karena kesibukan, ritus pembuka sering saya lewati karena terlambat dan ritus penutup saya tinggalkan karena buru-buru keluar gereja. Ritus penutup sebenarnya mengandung pesan penting yaitu ajakan menjadi saksi hidup akan Yesus Kristus. Tubuh kita sudah bersatu dengan Kristus dan pikiran kita sudah dikuatkan dengan Firman akan menjadi bekal mengamalkan Kabar Baik kepada sesama di masyarakat.
Apa sih yang masih menonjol dan menjadi ciri-ciri orang katolik? Sekolah Katolik… ah sekarang juga banyak sekolah lain yang mutunya sejajar bahkan lebih baik dari sekolah katolik. Rumah sakit katolik… ah sekarang juga banyak rumah sakit bertaraf internasional maupun lokal dengan mutu dan pelayanan bisa menyamai atau mungkin lebih baik dalam pelayanan dan peralatan. Tokoh politik katolik yang jujur dan bersih… ah sekarang sudah mulai hilang karena kaderisasi macet.
”Lalu apa dong… yang masih bisa menjadi atribut orang katolik. Dan apa yang sudah dan akan loe lakukan?” sergap hati nuraniku dengan sangar. Secara reflek aku menjawab santai, ”Ya… tentunya spiritualitas Ekaristi merupakan jawaban paling tepat he..he..bila menjadi gerakan berkesinambungan di masyarakat dengan dukungan semua umat.”
Ya… memang benar, gerakan bersifat jangka panjang bukan sekedar aktivitas hangat-hangat tahi ayam. Beberapa sahabat dan DPH sedang merancang gerakan anak remaja (15-18 tahun) ”Life Teen” yang berpusat pada perayaan Ekaristi. Gerakan ini hanya bisa hidup bila ada tim inti (core team) yaitu orang dewasa yang bersedia menjadi pendamping. Suatu tantangan menarik agar gereja tetap terisi penuh 20 tahun mendatang. Ekaristi tidak sekedar perayaan kultis di gereja semata melainkan menjadi perayaan lengkap dengan melibatkan umat dalam kehidupan sehari-hari.
Beranikah aku diutus dan berbagi dalam masyarakat? Siapa takut? Semoga.
Ditulis oleh JA Gianto (7 April 2012)