Merajut Kembali Firdaus yang Terkoyak
Waktu kecil, di Sekolah Rakyat (demikian sebutan Sekolah Dasar waktu itu) terus sampai penulis berangkat menjadi remaja, pak guru selalu mengajar betapa indahnya negeri kita. Disebutkan sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, dengan penduduk yang ramah penuh damai layaknya zamrud khatulistiwa. Kekayaan alam berlimpah, menjadi modal untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Ditambah dengan keramahtamahan penduduknya yang rukun, siap bergotong royong saling membantu dalam kebersamaan.
Ternyata masyarakat adil dan makmur itu belum tercapai setelah kemerdekaan diraih selama lebih dari 60 tahun. Pembangungan tidak cuma jalan ditempat, tetapi malah mundur. Di beberapa atau bahkan banyak tempat, yang terjadi bukan pembangunan tetapi pengrusakan, bahkan penghancuran. Akibatnya sang zamrud khatulistiwa kehilangan gemerlapnya, meredup, kehilangan sinar keindahannya. Firdaus kita terkoyak.
Keadaan telah sedemikian parah, sampai seorang tukang becak jujur yang mengembalikan dompet yang ketinggalan di becaknya menjadi berita besar. Diliput media televisi sebagai sebuah kejadian langka. Sementara korupsi yang merupakan perbuatan dosa menjadi kegiatan sehari-hari. Sampah bertumpuk dimana-mana. Orang tidak mau berjalan beberapa meter untuk mencari tempat sampah tetapi membuang saja di jalan atau selokan. Belum lagi masyarakat yang terkotak-kotak, saling curiga, rasa persaudaraan menurun. Lebih banyak memikirkan diri atau golongannya sendiri. Rasa satu bangsa, satu tanah air cuma tinggal
kenangan. Adanya cuma dalam slogan dan retorika kosong.
Seorang pemimpin yang menjalankan konstitusi dan mentaati sumpah jabatannya dengan setia menjadi fenomenal. Hal yang seharusnya biasa menjadi luar biasa, penyelewengan jadi biasa. Namun masih ada harapan. Masih banyak orang yang berkehendak baik, berbudi luhur,jujur dan rajin. Tetapi mereka tersingkir, lemah tak berdaya, hanya stress mengelus dada dan berharap terbitnya matahari baru. Marilah kita bersama sejenak menelaah bagaimana kita akan ikut menisik, menambal koyak-koyak yang ada pada bangsa ini.
Bila ditelusuri ternyata akar dari kepincangan salah satunya ada pada rendahnya tingkat pendidikan rakyat. Pendidikan termasuk pendidikan moral dari teladan orang tua maupun ajaran agama. Ajaran agama akan menyadarkan orang untuk memperhatikan sebab akibat dari tindakan yang diambil yang akan membawa pada kesadaran untuk hidup saling mensejahterakan.
Kemiskinan yang mendera bangsa kita telah mencetak banyak anak putus sekolah, atau bahkan tidak sekolah. Akibatnya akan meningkatkan kebodohan rakyat. Gerakan ASAK yang mulai menggelinding di Keuskupan Agung Jakarta bisa mengambil peran yang banyak artinya dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Karena pada gilirannya akan mengurangi jumlah anak yang tidak mendapatkan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Anak-anak ini, yang ingin sekolah tetapi terhambat, akan mendapatkan pengalaman sejati tentang arti tolong menolong, akan mendapat sentuhan cinta kasih murni, dan dengan pendidikan moral kemuliaan batinnya akan terbina. Sehingga pada gilirannya mereka akan membalas, mengembalikan budi baik yang mereka terima kepada orang lain.
Dipihak lain, perlu pula kita sadari bahwa pendidikan saja tidak cukup. Karena anak-anak kita perlu panutan dan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan nyata. Untuk itu kita semua akan bisa berperan dengan hidup sesuai dengan kepatutan. Janganlah terbawa slogan putus asa yang sering terlontar: “Saiki jaman edan, yen ora melu edan ora keduman” (sekarang ini jaman gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian). Kalau ini terjadi maka kehidupan kita akan lebih rendah dari binatang, karena binatang egois hanya untuk makan dan sekedar hidup, sementara manusia akan egois demi memuaskan nafsu dan keserakahannya.
Marilah kita bersama ambil bagian dalam gerakan ASAK, agar zamrud khatulistiwa bersinar lagi. Bak merajut kembali Firdaus yang terkoyak.