Saya mengawalinya dengan gamang, takut terikat dengan tugas-tugas yang diberikan, meski akhirnya bergabung dalam Subsie Pendidikan Santo Thomas Rasul (Sathora). Sebuah langkah seadanya, tanpa beban, bahkan tanpa angan bakal jadi seperti apa. Hanya ikut sebagai bagian dari sebuah tim kecil yang mencoba merealisasikan gagasan Panitia 25 tahun Sathora plus 200 thn KAJ. Bermula dari titik nol kami mengawalinya sampai tiba-tiba Ayo Sekolah yang berawal di Sathora jadi  program sorotan. Bahasa kerennya program unggulan. Tiba-tiba kami jadi sering diminta presentasi di berbagai paroki dan diliput di beberapa media massa Katolik. Justinus Yanto Jayadi Wibisono, ketika itu Ketua Seksi Pendidikan Sathora, menjadi selebriti Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK). Kondisi ini ada enak, tapi ada juga tidak enaknya. Karena menjadi “orang top, mencari penyantun ASAK menjadi lebih mudah karena calon penyantun maupun donatur telah lebih mengenal. Repotnya, karena sering diminta presentasi maka kami jadi harus bergilir pergi ke paroki-paroki yang dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu. Sampai suatu hari, Pak Yanto meminta saya untuk menggantikan beliau menjabat sebagai Ketua Seksi Pendidikan dengan berbagai pertimbangan.  Jawaban saya lugas waktu itu, “Engga mau. Yang lain saja.

Bukan karena tidak mencintai Ayo Sekolah kalau saya menjawab tidak untuk tawaran itu.  Saya menikmati hidup di antara keluarga ASAK, khususnya Ayo Kuliah pada waktu itu. Saya mengurus Ayo Kuliah di awal berdirinya, dari proses seleksi, administrasi, pembayaran santunan sampai seluruh tetek bengeknya. Mengalami bagaimana dikejar pembayaran uang kuliah dan harus memberikan dana talangan dari kocek pribadi sebelum dana dari paroki turun, merasakan sesaknya dada ketika tahu anak-anak itu tidak bisa membeli diktat atau tinta untuk tugas-tugas mereka, memonitor dan mendorong mereka untuk tidak nrimo, tapi juga ikut senang ketika indeks prestasi mereka mencapai 3 koma sekian.

Jadi Ketua Seksi Pendidikan jelas lebih dari sekedar ngurus anak-anak penerima santunan.  Ada penyantun yang harus disapa, keuangan yang wajib dijaga tetap sehat dan kredibel, pengurus yang solid, jalinan relasi yang harmonis dengan Dewan Paroki serta seksi-seksi lainnya, sementara saya adalah orang yang kurang suka berbasa-basi. Tapi di atas semua itu bagaimana saya bisa berprestasi seperti pendahulu saya?! Saya – mungkin karena sudah lama tidak bekerja di kantor malas untuk membuat program ini itu, terbeban kalau harus keliling ke paroki-paroki lain di hari libur keluarga. Sementara semua itu dilakukan dengan sukses oleh Pak Yanto. Buat saya jelas lebih enak jadi anak buah. Tanggung jawabnya lebih simpel dan bisa dialihkan. Tapi ketika Pak Yanto menawarkan kembali, saya berjanji untuk membawanya menghadap pada Tuhan. Di hadapan-Nya saya jujur menyatakan ketakutan dan berbagai alasan lain. Tetapi Tuhan mengingatkan pada kalimat yang saya tulis pada desain awal flyer Ayo Sekolah : 

Ketika melihat dan diam,

Tidak berbuat sesuatu

Kita baru menjadi PENDENGAR

                        Tapi ketika melihat dan berbuat,

                        Bahkan terlibat…

                        Kita telah menjadi PELAKU

Tuhan bertanya, “So mau jadi Pendengar atau Pelaku?” Dan DIA  menambahkan, “AKU mau kamu tetap jadi Ester dan bukan Yanto. Itu cukup bagi-KU.

 

Ester Sulisetiowati